Senin, 07 Februari 2011

Valentine's Day

Pernah datang seorang adik kepada saya lalu dibercerita tentang hari valentine, dalam ceritanya banyak sekali teman-teman mengejeknya dengan sebutan “ndeso” hanya persoalan sepele yaitu karena tidak mau nimbrung dalam pesta Valentine’s Day. 
Kita tidak perlu khawatir dengan predikat ndeso yang diberikan oleh orang-orang kepada kita akibat dibilang ketinggalan zaman karena tidak ikut Valentine’s Party. Memang kita akui bahwa Valentine’s Day senantiasa dibangga-banggakan oleh para ABG yang duduk di bangku SMA, SMP bahkan sekarang marak sekali di SD. Mereka tidak mau ketinggalan tren gaya anak muda sekarang, alasan yang senantiasa terlontar dari mulut mereka.
Saya pribadi juga merasa prihatin dengan dengan kemeriahan yang ada pada saat Valentine’s Day di kalangan ABG. Budaya Barat ini sudah seperti milik ABG baik di Metropolitan, di kampung kumuh sudut kota maupun di dusun becek pinggiran kota, bahkan sekarang mulai merambah di kalangan pesantren yang notabene Islam ikut-ikutan latah dengan budaya Barat ini.
Mereka mendandani tanggal 14 Februari dengan segala sesuatu yang serba wah dan spesial. Hadiah bertaburan dari sekedar coklat hingga barang mewah untuk membuktikan rasa sayang kepada orang yang terpilih. Bahkan kita bisa lihat pada hari itu di mall-mall hingga pasar yang namanya coklat (silverqueen, dan sejenisnya) laris manis, bahkan di Aneka Jaya Mranggen sampai kehabisan stok gara-gara anak SD-SMA bahkan tetangga saya juga tergila-gila untuk ikut-ikutan ribet mempersiapkan yang namanya Valentine’s Day. Mereka beranggapan Valentine’s Day adalah simbol modernitas, fashionable, trendy dan gaul.
Mereka tidak menyadari telah menjadi budak permainan yang menyenangkan bagi kaum kapitalis yang memuja hedonisme dan materialisme. Saat inilah kapitalis secara licik menyeret kaum remaja kita untuk berlaku konsumtif terhadap barang dan budaya mewah. Valentine’s Day harus berbaju baru, HP baru, beli coklat, parsel dan masih banyak yang lainnya. Ironisnya uang yang didapatnya adalah hasil nodong orang tua dan mereka lupa background asal mereka yang bisa dikatakan menengah ke bawah alias orang susah yang sok kaya ketika berhadapan dengan Valentine. Bukankah ini budaya kaum kapitalis sudah meracuni adat ketimuran kita.
Kencan dan makan romantis di café atau restoran, pesta semalam suntuk dengan musik hingar bingar. Narkoba pun menyusup siap mencaplok dan mengedarkan tiket kematian ke neraka. Akhirnya inilah gerbang menuju pergaulan bebas tanpa batas dengan dalih perayaan kasih sayang.
Pada hari itu semua bercas-cis-cus berapa agung Valentine, betapa indahnya Valentine, betapa sucinya Valentine. Tapi keesokan harinya mereka kembali tawuran, mengejek teman, menghina guru dan membentak orang tuanya. Lalu apa artinya semua perayaan itu kalau bukan sekedar latah, pesta huru-hara tanpa guna?
Bukankah lebih afdol membagi kasih sayang mulai dari bangun tidur, tanpa memilih tanggal tertentu, tanpa harus dengan pesta pora, tanpa harus menjerumuskan diri pada sesuatu yang penuh kemudharatan.
Pantaskah bangsa ini menelan budaya Barat itu mentah-mentah? Bukankah kita punya aqidah sendiri yang lebih indah dan luhur untuk menyuburkan kasih sayang?
Bagaimana menurut anda bila ada statement bahwa orang yang berbagi hadiah di Valentine’s Day dia dikatakan pelit karena mereka hanya memberi satu tahun sekali, bukankah lebih baik berbagi kasih sayang itu setiap hari dan tidak perlu repot-repot mencari hari spesial untuk berbagi. Ya kan. Ayo coba kita baca ulang atau cari tahu asal usul sejarah Valentine’s Day. Kalau kita dikatakan ndeso sebenarnya ungkapan itu terlalu menjustifikasi hanya gara valentine. Menurut saya kasih sayang dalam Islam itu senantiasa ada setiap hari, kenapa mereka ikut-ikutan berbaginya hanya pada tanggal tertentu, bukankah mereka latah dengan budaya Barat. Saya yakin mereka tidak tahu sejarah Valentine yang sebenarnya, mereka hanya ikut-ikut budaya yang materialistis dan bukankah orang yang ndeso yang senantiasa ikut-ikutan tanpa punya pedoman yang pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar